Celoteh
Abu Doto Sejahterakan
si Miskin
Syahdan, hajatan
pemilihan kepala daerah sering digunakan untuk menyampaikan visi dan misi bakal
calon jika terpilih menjadi penguasa. Umumnya, mereka berkeinginan untuk
mensejahterakan rakyat. Keinginan itu tampak begitu besar, tak kecuali dari
bakal calon incumbent seperti dr. Zaini
Abdullah dan Muzakir Manaf.
Dan kini,
berbagai janji manis tadi ditebarkan kembali oleh sejumlah bakal calon
penguasa. Bahkan, melalui serangkaian pemberitaan di media pers bertajuk:
advertorial. Tak hanya itu, pada beberapa
kesempatan bertemu wartawan, mereka mengaku termotivasi untuk
maju dengan
janji menghadirkan kesejahteraan bagi rakyat
Aceh. Tapi,
satu hal yang menggelitik adalah kondisi kemiskinan di Tanah Rencong justru
tumbuh subur di era kepemimpinan kedua sosok ini.
Simaklah, angka
kemiskinan di Aceh secara nyata memang cukup mencengangkan.
Berdasarkan Basis Data Terpadu (BDT) Tim Nasional Percepatan Penanggulangan
Kemiskinan (TNP2K), jumlahnya mencapai 2,2 juta jiwa. Celakanya, angka ini
tumbuh subur
jika
dibanding tahun
2012
lalu yang masih bergerak
di angka 1,7 juta jiwa.
Fakta
ini tentu saja membuat
miris. Sebab, limpahan
anggaran begitu
besar mengalir ke Aceh saban tahun, namun tidak linier dengan menurunnya angka
kemiskinan di Bumi Serambi Mekkah. Kita juga
patut heran,
sesungguhnya pemerintah telah memiliki struktur, program, basis data dan
anggaran yang bisa digunakan untuk mengangkat kaum papa ini dari jurang
kemiskinan.
Itu
sebabnya, tak salah jika ada yang beranggapan keberadaan si miskin memang
dipelihara, bahkan dilestarikan oleh Pemerintah Aceh. Mereka
akan berguna untuk momen-momen khusus seperti Pilkada 2017 mendatang. Para kandidat, kembali menjual kaum miskin dengan
janji manis kesejahteraan.
Nah,
seperti apa sesungguhnya potret kemiskinan Aceh secara riil? Wartawan MODUS
Aceh, Juli
Saidi dan Irwan Saputra,
menulisnya untuk Laporan
Utama
pekan ini.***
2,2 Juta Rakyat Aceh Ternyata Masih Miskin
Penanggulangan
masyarakat miskin di Aceh masih sekedar retorika dan pemanis panggung pidato.
Secara persentase, Badan Pusat Statistik
(BPS) Aceh
mencatat terjadi lonjakan angka kemiskinan di Tanah Rencong sebanyak delapan
ribu jiwa untuk kurun waktu Maret 2015-September 2015. Secara nyata justru
lebih mencengangkan.
Data
TNP2K menunjukkan jumlah riil
kemiskinan di Aceh pada 2015 adalah 2,2 juta jiwa. Ironis!
***
Tak
seperti lazimnya tempat tinggal, bangunan berkontruksi kulit pelepah rumbia
yang dibangun belasan tahun lalu itu lebih pantas disebut kandang ternak. Bukan
hanya karena kontruksi bangunannya yang kian lapuk dan reyot, tapi
letak bangunan yang jauh dari kata layak dan sehat untuk dihuni. Maklum, rumah
itu berlokasi di bibir sungai, lembab dan kotor.
Tapi,
di rumah tak layak huni itulah seorang janda bernama Nursiah (48) menetap
bersama dua orang anaknya, Yusnani (17) dan Ramadhani (14). Selama 11 tahun
mereka menetap di rumah Jalan Teuku Nyak Arief, Desa Lamgugop, Kecamatan Syiah
Kuala, Banda Aceh. Kawasan ini hanya beberapa kilometer dari pusat Kantor Pemerintahan
Aceh.
Ramadhani
saat ini tercatat sebagai siswa VII SLTP Negeri 15 Lampineung, Banda Aceh. Sementara, sang kakak
setamat Sekolah Dasar
(SD) terpaksa tidak melanjutkan pendidikan karena keterbatasan biaya. Apalagi, kondisi
kesehatan Nursiah saat ini sudah jauh menurun. Matanya tak lagi jernih
melihat.
Kamis,
2 Juni 2016 lalu, media
ini menyambangi kediaman Nursiah. Musim
penghujan akhir-akhir ini membuat hari-hari mereka kian menyedihkan. Air
menggenangi sekeliling rumah. Dan, tak jarang, luapan air
sungai masuk ke dalam rumah dan menggenangi lantai yang biasa mereka gunakan
untuk tidur. "Kami sering begadang jika hujan lebat, karena tidak ada lagi
tempat yang tersisa untuk tidur dan berteduh dari guyuran hujan," kata
Nursiah lirih.
Untuk
penerangan di waktu malam, keluarga Nursiah menerima belas kasih orang sekitar
yang bersedia mengaliri aliran listrik ke rumahnya secara cuma-cuma. Semula,
Nursiah enggan menerima media ini bertandang dan mewawancarianya, bukan karena
tidak mau dan malu dengan keadaan rumah yang begitu
memprihatinkan. Tapi,
yang membuat Nursiah sakit hati, karena janji-janji
yang sering dilontarkan setiap orang yang mendatangi rumahnya, baik wartawan, aktivis lembaga
swadaya masyarakat (LSM) maupun pejabat teras. “Kalau saya hitung, sudah ada 13
rumah saya saat ini, jika semuanya terwujud,” ujar Nursiah dengan nada kesal.
Namun,
setelah media ini menjelaskan niat mengapa memilih mendatangi rumahnya, barulah
Nursiah mau bercerita keluh kesahnya. Cerita Nursiah, sebagai ibu dan kepala
keluarga, setiap pagi hari ia membuat pulut (penganan dari ketan), kemudian
menjualnya di samping Jalan Teuku Nyak Arief pada setiap orang yang lalu lalang
agar ia bisa menghidupi kedua anaknya. “Jika
laku semua, saya dapat rezeki 20
ribu. Namun, jika tidak
laku, kami memilih untuk tidak makan,” kata Nursiah.
Menurutnya,
kalau mereka tidak sabar,
makan satu waktu bisa tidak memiliki lagi modal untuk jualan pulut esok harinya. Begitu juga
terhadap jajan anaknya yang masih sekolah. Nursiah
memiliki harapan besar pada putranya Ramadhani. Dia berharap, suatu hari
putranya itu bisa menjadi anak yang sukses. Karena itu, Nursiah rela banting
tulang meski terkadang lelah dengan beban hidup yang harus ditanggung.
"Saya ingin menunjukkan pada anak bahwa kita harus berjuang untuk hidup.
Tak perlu mengemis dan meminta-minta pada orang lain," katanya.
Nursiah
menjelaskan, di Aceh orang miskin tak ada nilainya di mata penguasa. Bahkan, orang-orang
sepertinya seolah sengaja dipelihara untuk dijadikan objek mencari uang dan jabatan. Itu
disadarinya dengan seringnya orang mendatangi rumahnya dan menebar
janji akan memberikan
rumah gratis dengan
syarat harus memberikan fotokopi Kartu Keluarga
(KK) dan Kartu
Tanda Penduduk (KTP) serta foto rumah reyotnya. Sementara, setelah itu
tidak ada hasil progres lanjutan. “Saya memang bodoh tapi saya tahu
dipermainkan.
Saya tahu saya diperjualbelikan.
Saya sadar itu,” ungkap Nursiah dengan suara terbata-bata.
Tak
sanggup menahan
emosi,
Nursiah akhirnya menumpahkan sakit hatinya. Sambil menangis, Nursiah mengaku
tak memiliki harapan apa pun pada Pemerintah Aceh.
“Semua telah hampa,” ujarnya dengan nada setengah teriak dan tangan menyapu
kedua bola matanya.
Kesal
Nursiah tentu punya alasan, menurutnya orang miskin di Aceh seolah sengaja
dipelihara.
Buktinya, sampai saat
ini, ia tidak
mengantongi kartu program perlindungan sosial apa pun, baik
Kartu Keluarga Harapan dan Kartu Keluarga Sejahtera. Padahal, di KTP yang
ia kantongi saat ini,
tercatat sebagai warga Lamgugop, Banda Aceh.
“Kenapa
kami selalu luput dari perhatian pemerintah? Sementara, sebulan
sampai tiga kali orang mendatangi rumah saya,” kata Nursiah
mengkritisi sembari dua anaknya Ramadhani dan Yusnani hanya tertunduk di sebelah
ibunya, Kamis pekan lalu.
Kepada
media ini,
Ramadhani mengaku ingin sekali membahagiakan ibunya saat ia besar nanti. Dia sadar, sebagai
anak yang terlahir dari keluarga kurang mampu, maka cita-cita yang
digantungkannya pun tidak muluk-muluk. “Saya hanya ingin membahagiakan Mamak, Bang. Jadi PNS (pegawai negeri sipil) biasa
saja saya sudah bersyukur.
Atau jadi buruh kasar juga tidak apa-apa asal saya bisa membahagiakan Mamak,”
ujarnya polos.
Potret
kehidupan Nursiah tak beda jauh dari keluarga Hanafiah
Abdullah (60) dan istrinya
Nurasiah (50) pemegang Kartu Keluarga Harapan, Keluarga
Sejahtera, Kartu Perlindungan Sosial dan Kartu Indonesia Sehat, yang beralamat
di Dusun Cut Nyak Dien, Desa Peuniti, Kecamatan Baiturrahman, Banda Aceh.
Hanafiah
dan Nurasiah tinggal hanya berjarak dua ratus meter dari Pendopo Gubernur Aceh.
Namun, meski kehidupan keluarga Hanafiah tak separah Nursiah, namun potret
kemiskinan juga terpampang jelas dari keluarga itu.
Bayangkan,
barangkali
sudah jarang ditemukan dalam rumah yang hanya berukuran 5x15 meter persegi, masih bisa
hidup empat kepala keluarga (KK) dan sepuluh orang cucu. Karena, keempat
anaknya belum memiliki kemampuan secara ekonomi, sehingga terpaksa harus
berbagi kamar dan dapur yang selama ini dipakai Nurasiah bersama suaminya.
“Kalau masak,
kami ya
antri, bukan masak bersama,” cerita Nurasiah.
Hanafiah
sudah sejak enam bulan lalu berdiam di rumah itu. Sebab, ia diserang
stroke dan komplikasi penyakit lainnya. Sehingga, ia tidak mampu lagi untuk
menafkahi keluarganya. Sementara istrinya, hanya bisa berjualan pakaian setiap
Sabtu dan Minggu di Pidie. “Terkadang Rp 20 ribu per hari tak
cukup untuk biaya pulang pergi Banda Aceh-Pidie,” ujar Nurasiah.
Menurut
Nurasiah, keadaan ekonominya semakin parah sejak suaminya tidak bisa lagi
bekerja sebagai penarik becak barang di Banda Aceh. Sedangkan kebutuhannya,
harus membiayai empat cucunya, Rahmat Risky (tamat SMP bekerja bengkel), Yuni
Rahayu (putus sekolah pada kelas II SMP), Muhammad Rijal (masih
sekolah kelas II SMP) dan Muhammad Riski Subja (7 tahun kelas satu SD). Keempatnya
adalah anak dari putri sulungnya yang telah meninggal dunia. Sementara
suami almarhumah
anaknya memilih untuk menikah lagi tanpa menghiraukan anak-anaknya.
***
Dua rumah tangga tadi hanyalah contoh kecil dari ratusan ribu atau bahkan jutaan rumah tangga miskin di Aceh. Berdasarkan pemutakhiran Basis Data Terpadu (BDT) 2015 yang dilakukan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), sebanyak 530,772 rumah tangga miskin yang ada di Tanah Rencong dengan jumlah individu mencapai 2,2 juta jiwa lebih. Sementara, jumlah penduduk di Aceh sekitar 4,9 juta jiwa pada 2015.
TNP2K
adalah lembaga yang dibentuk pemerintah untuk melakukan percepatan penanggulangan
kemiskinan yang diketuai
Wakil Presiden RI
Jusuf Kalla. Di Aceh, tim ini dikenal
dengan sebutan Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD) dan
diketuai Wakil Gubernur Aceh Muzakir Manaf. Dia
bertanggungjawab langsung pada gubernur. TNP2K bekerjasama dengan Badan Pusat
Statistik (BPS) untuk melakukan pendataan terhadap warga dengan tingkat ekonomi
40 persen terendah ke bawah. Program ini dikenal dengan Program Pendataan
Perlindungan Sosial (PPLS) dan sudah dilakukan sejak 2005, 2008, 2011 dan
pemutakhiran terakhir pada 2015.
Total
jumlah rumah tangga miskin Aceh itu dibagi dalam empat klaster atau disebut
desil.
Masing-masing
desil satu atau kelompok masyarakat dengan tingkat kesejahteraan 10 persen
terendah (rumah tangga sangat miskin) di Aceh yaitu sebanyak 101.409 rumah
tangga dengan jumlah individu di dalamnya 540.295 jiwa. Desil dua atau kelompok
masyarakat dengan tingkat kesejahteraan 20 persen terendah (miskin) yaitu
sebanyak 126.351 rumah tangga atau 558.500 jiwa. Desil tiga atau kelompok
masyarakat dengan tingkat kesejahteraan 30 persen terendah (hampir miskin)
sebanyak 162.149 rumah tangga atau 626.780 jiwa. Dan desil empat atau kelompok
masyarakat dengan tingkat kesejahteraan 40 persen terendah (rentan miskin) sebanyak
140.863 rumah tangga atau sebanyak 474.559 jiwa.
Jumlah
warga miskin ini tumbuh subur jika dibandingkan dengan kondisi pada 2012 lalu.
Berdasarkan BDT 2012, jumlah rumah tangga miskin di Aceh hanya sebanyak 1,7
juta jiwa--tidak
termasuk kelompok masyarakat dengan tingkat kesejahteraan 40 persen terendah.
Bertambahnya
jumlah masyarakat miskin di Aceh, diakui pengamat ekonomi usaha kecil menengah (UKM) Dr.
Iskandarsyah Madjid SE,MM dari Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala. Salah
satu penyebabnya karena banyak program Pemerintah Aceh selama ini tumpang
tindih. Selain itu, program yang dilaksanakan cenderung bagi-bagi uang.
“Pemerintah hanya membagi-bagikan uang,” kata pengamat ekonomi UKM dan juga
tenaga ahli di Bappeda Aceh, Dr. Iskandarsyah Madjid, di Lampriet, Banda Aceh,
Kamis pekan lalu.
Begitu ironikah? Inilah fakta dan kondisi rakyat Aceh dibawah kepemimpinan dr.
Zaini Abdullah.***
Kabid
Statistik Sosial BPS Aceh, Abdul Hakim
Rakyat Miskin Aceh
Meningkat
Peningkatan
masyarakat miskin di Aceh terjadi di kawasan pedesaan. Itu
diakui Kepala Bidang Statistik Sosial Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh, Abdul
Hakim. Kepada media ini, Abdul Hakim mengaku jumlah angka kemiskinan di Aceh
memang meningkat. Seperti apa penjelasan BPS Aceh?
Berikut
penuturannya pada Irwan Saputra dari MODUS ACEH,
di Kantor BPS Aceh, Jalan Tengku Daud Beureueh, Banda Aceh Rabu pekan lalu.
Bagaimana
kondisi kemiskinan di Aceh saat ini?Kemiskinan
di Aceh meningkat.
Pada September 2015 jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per
kapita per bulan
di bawah garis kemiskinan) di Aceh mencapai 859 ribu orang atau 17,11 persen.
Bertambah sebanyak delapan ribu jiwa dibandingkan dengan penduduk miskin pada
Maret 2015 yang jumlahnya 851 ribu orang atau 17,08 persen.
Bagaimana
pemetaannya?
Selama
periode Maret 2015 hingga ke September 2015, persentase penduduk miskin di
daerah perkotaan mengalami penurunan sebesar 0,21 persen atau dari 11,13 persen
menjadi 10,92 persen. Sedangkan di daerah pedesaan mengalami peningkatan yaitu
0,12 persen atau dari 19,44 persen menjadi 19,56 persen.
Penyebabnya?
Peran
komoditi makanan terhadap garis kemiskinan lebih besar dibandingkan peranan
komoditi bukan makanan seperti perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan. Sehingga,
mengakibatkan sumbangan terhadap garis kemiskinan pada September 2015 sebesar
76,02 persen sedangkan pada Maret 2015 adalah 75,97 persen.
Apa saja komoditi
makanan yang berpengaruh terhadap kemiskinan?
Komoditi
makanan yang berpengaruh terhadap nilai garis kemiskinan di perkotaan relatif
sama dengan pedesaan, di antaranya beras, rokok kretek
filter, dan ikan seperti tongkol, tuna dan cakalang. Sedangkan untuk komoditi
bukan makanan yang berpengaruh terhadap nilai garis kemiskinan adalah biaya
perumahan, bensin, listrik dan pendidikan.
Bagaimana
tingkat kedalaman
kemiskinan?
Pada
periode Maret 2015 hingga September 2015, indeks kedalaman kemiskinan (P1)
mengalami kenaikan dari 3,104 menjadi 3,111. Sementera itu, indeks
keparahan kemiskinan (P2) naik dari 0,832 menjadi 0,841.
Ada berapa
faktor sebenarnya yang mengakibatkan kenaikan jumlah dan persentase penduduk
miskin di Aceh?
Faktornya
ada dua. Sejak periode
September 2014 hingga September 2015, nilai tukar petani cenderung menurun dari
97,39 pada Maret 2015 menjadi 96,07 pada September 2015. Begitupun, tingkat
pengangguran terbuka dari 7,73 persen pada Februari 2015 menjadi 9,92 persen
hingga Agustus 2015. Itu pertama. Kedua adalah
inflasi. Pada periode September 2014 sampai Maret 2015 terjadi inflasi sebesar
2,13 persen, sedangkan inflasi periode Maret 2015 hingga September 2015
meningkat menjadi 2,01 persen.
Lalu?
Selama
2013 sampai 2015, jumlah penduduk miskin di Aceh berfluktuasi (tidak tetap).
Pada Maret 2013,
jumlah penduduk miskin mencapai 842,42 ribu orang atau sebesar 17,60 persen,
kemudian naik hingga 881,26 ribu orang atau 18,05 persen pada Maret 2014 dan
mencapai angka terendah pada September 2014 yaitu sebanyak 8.376,42 ribu
orang 16,98 persen tetapi pada Maret 2015 jumlah kembali
meningkat menjadi 851,59 ribu orang atau sebanyak 27,08 persen dan 859 ribu
orang atau sebesar 17,11 persen pada September
2015. Itu potret kemiskinan secara sampel kalau secara menyeluruh perlu waktu
dan biaya.
Kalau sampel itu kita ambil supaya mewakili semua kondisi.
Kalau by
name by adress?
BPS
hanya mendata saja.
Kami tidak boleh merilis dan memberikan data individu kepada siapa pun,
dilarang oleh undang-undang. Jadi, kami data karena itu adalah
intruksi presiden dan bukan tupoksi BPS. BPS
menyerahkan data pada TNP2K kemudian mereka akan berkoordinasi
dengan kementerian
terkait seperti Kemensos, atau menteri lainlah. Jadi, data itu
diperoleh dari BPS, kami kumpulkan pengelolaannya baru penentuan
program-programnya dari pemerintah dan kementerian-kementerian
terkait.
Jadi, data itu
dari BPS juga?
Iya,
yang mendatanya BPS.
Biasanya ada bantuan seperti raskin, datanya kita berikan. Program itu kan
tergantung kemampuan pemerintah berapa yang mereka mampu. Misalnya, secara
nasional, 40%
penduduk menengah ke bawah tapi kemampuannya tidak sama. Ada
masyarakat belum semua bisa dibantu, tergantung anggaran. Tapi, itu di
TNP2K, Kementerian
Sosial mereka yang mengelola data itu. Kalau evaluasi dalam bentuk makro untuk
evaluasi.
Status
miskin secara makro masuk dalam desil berapa?
Masyarakat
yang berada dalam pembagian/desil 10 persen hingga 20 persen, kalau di atas dari
itu kita tidak hitung miskin. Dari semua yang kami peroleh masyarakat miskin di
Aceh memang harus dibantu, namun dengan cara yang berbeda. Karena ada
masyarakat yang masih mau terima ikan dan belum bisa terima pancing. Ada juga yang
tidak mau terima ikan dan mereka lebih memilih pancing, karena telah mampu
memancing sendiri.
Jadi, pemerintah harus
memperhatikan ini.
Karena jika kedua orang ini diberikan program yang sama, tidak akan
merubah keadaan.***
Investasi Swasta dan Industri Belum Jalan
Kepala Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Aceh, sekaligus
Sekretaris Tim Koordinator Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD) Provinsi
Aceh, Zulkifli, tahu betul kondisi angka kemiskinan di Aceh saat
ini membludak. Sehingga, sejumlah
pertanyaan media ini dijawab panjang lebar oleh mantan Kepala Badan
Pemberdayaan Masyarakat (BPM) Aceh itu. Sesekali,
Kasubbid Pengembangan Kelembagaan, Kependudukan, dan Kesejahteraan Sosial/sekretariat TKPK Aceh, Hasrati,
juga ikut menambahkan. Menurut Zulkifli, ada
berbagai faktor yang membuat angka kemiskinan terus meroket. Berikut penjelasannya lewat
wartawan MODUS Aceh, Juli Saidi. Wawancara
berlangsung di ruang kerjanya, Lantai II,
Gedung Bappeda Aceh, Banda Aceh, Rabu sore, 1 Juni 2016 lalu.
Secara makro
dan mikro, angka kemiskinan Aceh masih tetap tinggi. Pendapat
Anda?
Kalau
kita mengacu pada RPJM
(Rencana Pembangunan Jangka Menengah),
target kita untuk mengurangi angka kemiskinan di Aceh tinggi. Baik dikaitkan
dengan perkembangan ekonomi dunia atau Indonesia. Karena target kita dalam RPJM
10 sampai 12 persen.
Kalau kita lihat realita,
tidak mungkin bisa tercapai karena sekarang 17 persen lebih. Makanya, Pemerintah
Aceh mengajukan revisi qanun RPJM Aceh kepada DPRA.
Alasan
lainnya?
Kondisi
nasional harga barang terus naik, sehingga garis kemiskinan naik. Persentase di
tahun 2014 sudah mendekati RPJM, kalau konsisten tumbuhnya 2 persen per tahun. Maka, targetnya
bisa dicapai.
Namun, saat itu,
terjadi pergolakan ekonomi karena naiknya harga minyak. Tadinya
sudah mendekati RPJM,
melonjak lagi menjadi 17 persen.
Ini artinya,
program penanggulangan kemiskinan Aceh tidak jalan?
Bukan
pembangunan tidak berhasil, tapi ini skenario atau kondisi republik kita saat ini juga ikut berpengaruh.
Jadi, bukan
pembangunan tidak jalan, tapi investasi swasta di Aceh juga belum tumbuh, sehingga
tidak membuka lapangan kerja signifikan. Angka pengangguran juga relatif
tinggi, sehingga kemiskinan semakin meningkat. Untuk menuju 12 persen, jumlah
kemiskinan Aceh big push.
Perlu perencanaan, penganggaran dan semua harus mengacu pada RPJM.
Bisa Anda
sebutkan salah satu program Pemerintah Aceh dalam mengurangi angka kemiskinan
di Aceh?
Kita
sudah buka
ruas jalan yang disepakati
dalam RPJM dan itu harus tuntas infrastrukturnya. Misalnya di Buloh Seuma, Aceh
Selatan dan
Trumon.
Kalau
sudah terbuka jalan,
masyarakat di sana
bisa membuka akses atau jarak tempuhnya semakin dekat dan bisa melakukan
transaksi ekonomi lebih baik. Begitu juga
pembangunan jalan lintas tengah dan beberapa kabupaten/kota lain di
Aceh. Kalau jalan
ini
sudah terbuka semua,
maka ruang ekonomi masyarakat Aceh ikut terbuka. Itu
strategi kita.
Bagaimana
mengeluarkan kaum miskin ini dari jurang kemiskinan?
Untuk
menuju pada angka kemiskinan yang relatif cepat menurun, maka semua sektor
harus mengarah ke sana. Sektor
infrastruktur harus bekerja sama tidak bisa sendirian. Jadi, semua
sektor harus komitmen mengacu penurunan angka kemiskinan. Misalnya, Dinas
Tenaga Kerja dan Mobilitas Penduduk. Ada balai
kerja,
berarti membuka kesempatan kerja. Kemudian melatih tenaga-tenaga terampil
dengan tenaga skil dari yang tadinya pengangguran bisa mandiri dalam bekerja.
Bagaimana membangun UKM-UKM. Misal, ada badan
usaha milik desa.
Kalau ini bisa berkembang dan diberdayakan, maka angka kemiskinan cepat turun.
Bagaimana
belanja modal dalam struktur APBA?
Dalam
struktur APBA belanja modal sedikit meningkat. Artinya belanja aparatur semakin
mengecil dan belanja modal semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Tetapi, ini belum
signifikan juga. Jadi,
pengurangan dan angka
kemiskinan dapat
dilihat dari lima dimensi. Ada ekonomi,
pendidikan, kesehatan,
infrastruktur dasar dan aksesibilitas pangan.
Mungkin selama ini,
kita melihat dana yang dialokasikan untuk mengatasi kemiskinan sedikit. Itu kalau hanya
dilihat dari rumah tidak layak huni dan menghidupkan
ekonomi masyarakat miskin. Dalam memprioritas
ini, kami
membedakan dan semua itu masuk dalam peningkatan ekonomi. Jadi, alokasi
anggaran yang dimasukkan untuk menghidupkan berbagai tingkatan usaha. Tujuannya, untuk
meningkatkan ekonomi masyarakat. Kalau dilihat kenapa
Aceh berada
pada sisi kemiskinan yang tinggi? Karena
kemampuan masyarakat untuk membelanjakan uangnya. Itu dimensi
ekonomi yang paling menonjol. Kalau dilihat angka partisipasi sekolah hampir
100 persen
masyarakat
Aceh sudah masuk pada pendidikan dasar (SD/SMP) dan usianya meningkat di atas
rata-rata sembilan tahun.
Lalu, bagaimana
postur anggaran dalam pengurangan angka kemiskinan Aceh?
Untuk
menanggulangi kemiskinan dari sisi ekonomi lebih kurang 10 persen dari APBA dan
APBK. Ini
sesuai
dengan kesepakatan dengan Menko PMK (dulu
Menkokesra).
Sedangkan Aceh sesuai surat edaran gubernur, ada 10 persen yang sudah
disisipkan untuk rumah tidak layak huni, baik pembangunan maupun rehabilitasi. Jadi, cukup
besar, ditambah lagi dari Dinas Sosial serta Dinas
Koperasi dan UKM. Namun,
kalau kita total dari berbagai dimensi ini, hampir
mencapai 50 persen. Lalu,
20 persen untuk pendidikan sudah Rp 1,2 triliun. Sementara, belanja
modal terus meningkat.
Bagaimana
kebijakan penanggulangan kemiskinan sesuai RPJM Aceh?
Dilihat
dari RPJM, kebijakannya diarahkan pada penyediaan sarana dan prasana perumahan
layak huni untuk masyarakat miskin, peningkatan kesejahteraan petani melalui
peningkatan pelayanan dan pemasaran hasil. Pembinaan kawasan wisata, UKM,
perluasan areal
pertanian dan penggunaan lahan-lahan terlantar. Jadi, dengan
membuka infrastruktur, membuka peluang. Kemudian, bagaimana
melindungi tenaga kerja, melatih tenaga kerja dan terakhir bagaimana
meningkatkan pelayanan dasar kepada masyarakat, kesehatan, pendidikan dan air
bersih.
Lantas,
kenapa angka kemiskinan Aceh masih tinggi?
Pertumbuhan
masyarakat Aceh 2,06 persen setiap tahun, sangat tinggi. Jadi, tidak bisa
dilihat dari satu sektor saja. Kami sedang menggodok dan menggerakkan
simpul ekonomi baru. Pembangunan akses jalan tadi juga untuk pemerataan
penduduk. Contoh, gubernur sudah mewacanakan satu daerah satu produk. Tetapi, ketika
petani tidak bisa menangani masalah, maka jadi terbengkalai.
Apakah semua
kepala dan wakil kepala daerah tahu jumlah angka kemiskinan di Aceh
tinggi?
Saya
kira masing-masing daerah tahu dan ini sudah terintegrasi. Jadi, bagaimana
mengupayakan supaya angka kemiskinan bisa menurun, tidak hanya pemerintahan
provinsi, tapi
juga kabupaten/kota sampai desa. Kemudian,
betapa pun
usaha pemerintah dalam menangani kemiskinan besar kalau warga
tidak mendukung, tidak akan terjadi. Dalam agama Islam, tangan di
atas lebih baik dari tangan di bawah. Coba lihat sekarang, fisik sehat tetapi
masih meminta-meminta. Jadi,
semua harus berpartisipasi, sikap dan mental bukan dari finansial.
Apakah
kemiskinan di Aceh
selalu tinggi sengaja dipelihara sebagai janji mensejahterakan masyarakat Aceh
setiap lima tahun sekali?
Saya
kira semua orang tidak suka dikatakan miskin, selain di mata Allah hina juga
dari manusia tidak terhormat. Kemiskinan bukan semata-mata karena pemerintah tidak sungguh-sungguh,
tetapi karena faktor global dan RPJM nasional sudah direvisi karena memang
siklusnya seperti itu. Aceh sudah merevisi dan sudah berubah, cuma belum
diqanunkan oleh DPRA.
Kalau
qanun sudah
lahir, maka akan
mendekati target pengurangan
angka kemiskinan. Penyebab kemiskinan di Aceh ada tiga: budaya, struktural--artinya
karena kebijakan dari pemerintah--dan kemiskinan alamiah atau miskin
bawaan.
Begitu
berpengaruhkah budaya masyarakat
terhadap tingginya angka kemiskinan Aceh?
Saya
kira faktor budaya punya pengaruh cukup besar. Misalnya, di Kabupaten Bener
Meriah, masyarakatnya petani kopi. Mereka punya aset rata-rata
setiap keluarga ada dua
hektar
kebun kopi
produktif, belum tanaman lainnya. Mereka
sebenarnya sangat produktif tetapi persentase kemiskinannya berada pada posisi
1-2 termiskin.
Itu
pada pola belanja masyarakatnya. Mereka
bukan membeli ikan, daging,
dan tidak mereka gunakan pada kebutuhan 10
pokok makanan. Mereka
juga tidak membangun rumah yang layak huni karena biasa
tinggal di kebun.
Begitu juga fasilitas pendukung. Ini yang tidak diperhatikan oleh masyarakat.
Sebenarnya,
dari sisi ekonomi mereka jauh lebih produktif dari pada yang tinggal di kota-kota.
Baik, apakah
Wakil Gubernur Aceh Muzakir Manaf sebagai Ketua TKPKD Aceh tahu tingginya angka
kemiskinan Aceh tersebut?
Wakil
Gubernur tahu dan beliau dulu pernah pimpin langsung rapat di Bappeda Aceh.***
Empat Tahun Pemerintahan ZIKIR---kecil
Turunkan Kemiskinan Masih Sebatas Janji Manis
Rencana
Pemerintah Aceh di bawah kepemimpinan dr. H. Zaini Abdullah-Muzakir
Manaf untuk menurunkan angka kemiskinan diprediksi gagal. RPJM 2012-2017
menargetkan angka kemiskinan Aceh menjadi 10 hingga 12 persen, tapi kini masih
bertahan 17,11 persen.
***
Sejauh
mata memandang, ratusan hektar sawah terbentang luas. Rumput
tumbuh hijau menjadi santapan sapi saban hari. Sawah
masyarakat Gampong Lamsabang, Cot Yang, Cumcum, Kecamatan Kuta Baro, dan
Gampong Lampuja, Limpok, Kecamatan Darussalam, Aceh Besar dibiarkan tumbuh
rumput. Lahan tidur di sana, bukan karena masyarakat malas bercocok tanam.
Tapi, macetnya
suplai air ke sawah-sawah yang
membuat persawahan masyarakat dibiarkan telantar begitu saja.
Maka,
potensi ratusan ton padi hanya angan-angan. Kecuali musim tanam sawah
tahunan-satu tahun sekali yang dikerjakan setiap bulan September pada tahun
berjalan. Masyarakat di dua kecamatan itu hanya bisa menanam padi pada akhir
tahun, itu
karena hanya menanti air tadah hujan--lazim
terjadi pada
bulan September
hingga November. Untuk
memenuhi nutrisi padi dari siraman air, tidak begitu besar biayanya, hanya
sekali-kali masyarakat di sana membantu dan menaikkan air dengan
mesin pompa.
Sebaliknya,
jika saluran irigasi lancar, sudah pasti masyarakat di sana bisa bersawah dua
kali dalam setahun, sehingga bisa menutupi kebutuhan pokok masyarakat. Namun,
karena infrastruktur yang tidak beres, tentu saja menyumbang angka kemiskinan
di Kabupaten Aceh
Besar.
Berdasarkan
data, tahun 2015 jumlah rumah tangga miskin untuk desil satu--dengan
kondisi kesejahteraan sampai 10
persen terendah di Indonesia, Aceh Besar
jumlahnya 8,188 rumah tangga atau 40.580 jiwa. Potret di
Aceh Besar ini,
bukanlah satu-satunya kondisi seperti itu. Tentu kondisi yang sama juga ada di
22 kabupaten/kota
lainnya. Total jumlah masyarakat miskin di Aceh sebanyak 2,2 juta jiwa.
“Kami
hanya bisa turun sawah setahun sekali karena tidak ada air, sumber air ada tapi
salurannya tidak ada,” kata Iskandar, warga Gampong Lamsabang,
Jumat pekan lalu.
Tentu,
kalimat indah yang diatur dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Aceh
2012-2017 tak
sesuai aslinya. Bayangkan saja, Aceh yang
bermartabat, sejahtera, berkeadilan dan mandiri berdasarkan
Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA), sebagai wujud MoU Helsinki, hanya angan-angan pada Pengantar
RPJM Aceh periode dr. Zaini Abdullah-Muzakir Manaf, 2012-2017.
Sebab,
target yang direncanakan dalam RPJM Aceh 2012-2017 bahwa kemiskinan Aceh turun
menjadi 10 sampai 12 persen, bisa dipastikan meleset jauh. Karena, jumlah
masyarakat miskin secara individu berjumlah 2,2 juta
lebih. Begitu juga secara persentase, jumlahnya 17,11 persen. Artinya,
jika target menurunkan
dua persen saja angka kemiskinan Aceh setiap tahun, maka di tahun 2017 masih
pada persentase tinggi 15 persen lebih. Itu pun jika prediksi
dua persen penurunan angkan kemiskinan Aceh setiap tahun bisa tercapai.
Tapi,
alih-alih
terwujud dan menjadi kenyataan, yang tetap diterima rakyat hanya
janji saja. Karena itu,
dibandingkan persentase angka kemiskinan tahun 2014 dengan tahun 2015, justru
naik dari 16,98 menjadi 17,11
persen pada tahun 2015.
Meski
tren angka kemiskinan Aceh naik, bukan berarti Pemerintah Aceh tidak punya
alasan.
Sekretaris
Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD) Provinsi Aceh yang juga
Kepala Bappeda,
Zulkifli, mengaku,
Pemerintah Aceh telah melakukan berbagai program. Salah satunya pembangunan 14 ruas jalan
di Aceh.
Misal, di Buloh Seuma dan Trumon, Aceh
Selatan. “Bukan pembangunan kita tidak berhasil, tapi ini skenario atau kondisi
republik kita saat ini,”
kata Zulkifli didampingi Kasubbid Pengembangan Kelembagaan, Kependudukan, dan
Kesejahteraan Sosial Bappeda/Sekretariat TKPKD Aceh, Hasrati,
Rabu sore pekan lalu.
Ironis memang, gagal
menurunkan angka kemiskinan era Pemerintah ZIKIR, bukan lantas menurunkan nafsu
politik untuk memimpin kembali Aceh. Dua tokoh mantan GAM itu
justru pecah kongsi dan sama-sama bersemangat
untuk maju kembali sebagai orang nomor satu Aceh.
Syahwat politik
tadi kian kencang, sehingga
Satuan Kerja Perangkat Aceh (SKPA) berlomba-lomba meningkat citra sang atasan
yang kadung meredup jika tidak elok disebut suram di mata masyarakat Aceh. Ini sejalan dengan realita
ekonomi rakyat
Aceh
saat ini.
Bayangkan, ada 2,2 juta
orang masyarakat miskin di Bumi Serambi Mekkah.
Untuk
kondisi memprihatinkan itu, Gubernur Aceh dr. H. Zaini Abdullah, pada 18 Oktober
2014 lalu pernah
berujar. Dia
meminta
SKPA untuk tahun 2015 sampai 2017 merumuskan program pembangunan Aceh. Program
yang dimaksud Abu Doto--begitu dia akrab disapa--untuk fokus
pada peningkatan
kualitas kesejahteraan masyarakat. “Pastikan seluruh rakyat Aceh dapat
merasakan hasil pembangunan tanpa diskriminasi,” ujar Abu Doto yang mengaku
serius maju kembali.
Begitu
juga Ketua TKPKD Aceh yang juga Wakil Gubernur Muzakir Manaf. Pertengahan
2015 lalu, ia sempat berujar bahwa Pemerintah Aceh konsisten
membuka akses bagi masyarakat untuk layanan dasar, terutama pendidikan,
kesehatan, air bersih dan sanitasi. Muzakir Manaf juga mengaku, Pemerintah Aceh
mendorong pertumbuhan usaha
mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
“Pemerintah Aceh mendorong perbaikan iklim pertanian, mempercepat pertumbuhan
sektor,” kata Mualem,
panggilan akrab Muzakir Manaf.
Tapi,
lagi-lagi janji itu hanya mudah terucap. Karena angka kemiskinan Aceh tetap
saja tinggi dan bertambah
hingga mencapai
angka 458.687 jiwa (dari 1.741.447 menjadi
2.200.134 jiwa). Sementara
itu, Kepala Bappeda Aceh,
Zulkifli Hs,
memastikan, penurunan angka kemiskinan menjadi 10 sampai 12 persen yang
direncanakan dalam RPJM tidak mungkin tercapai. “Target kita dalam RPJM 10
sampai 12 persen.
Kalau kita lihat realita,
tidak mungkin bisa tercapai,
karena sampai
saat ini berada pada angka 17 persen
lebih,” ujarnya, Rabu sore pekan lalu.***
Ekonom
UKM Unsyiah,
Dr. Iskandarsyah
Madjid
Masalah
Dasar
Tidak Pernah Diselesaikan
Dosen
Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Dr.
Iskandarsyah Madjid, punya argumentasi mengapa soal
kemiskinan Aceh selalu tinggi. Amatannya, selama ini, pelaksanaan
program Pemerintah Aceh cenderung
jangka pendek. Misal, program bagi-bagi uang dan
itu tidak mampu mendorong kehidupan masyarakat lebih sejahtera. Sebab,
antar dinas juga tidak ada sinkronisasi dalam menjalankan anggaran
setiap tahun. Apa saja penjelasan tenaga ahli Bappeda Aceh ini? Berikut
penuturannya pada wartawan MODUS
Aceh, Juli Saidi, Kamis, 2 Juni 2016 lalu.
Jumlah
masyarakat miskin di Aceh terus naik.
Pendapat
Anda?
Di
Aceh, masalah
kemiskinan memang tidak pernah
terselesaikan
dengan baik. Pemerintah
hanya membagi-bagikan uang. Ini cara penyelesaian jangka pendek.
Maksud Anda?
Secara
jangka panjang, cara
seperti itu justru menjadi
masalah. Kemiskinan terus bertambah karena orang akan malas mencari uang.
Begitu burukkah
dalam merealisasi program?
Susah
juga saya katakan,
karena
yang saya temukan di lapangan lebih pada bagi-bagi uang dan peralatan, bukan
secara serius membangun dengan program jangka panjang. Oke
masyarakat butuh rumah, tetapi tidak cukup itu. Mereka butuh
listrik dan bayar listrik.
Jadi,
harus secara terintegrasi.
Apa yang
seharusnya
dilaksanakan Pemerintah Aceh?
Sebenarnya,
yang penting bagaimana membangun sektor industri dan usaha, dengan sendirinya
akan membuka lapangan pekerjaan.
Bagaimana
kondisi riil
sektor usaha di Aceh?
Usaha
pun masih banyak di sektor perdagangan, bukan produksi. Perdagangan juga
menyebabkan capital flight. Artinya,
uang mengalir keluar daripada berputar di Aceh. Itu
salah satu faktor.
Kedua, pemerintah
belum mampu menjaga harga, terutama menjelang hari-hari besar, harga barang
meroket.
Apakah itu
yang membuat masyarakat Aceh banyak miskin?
Itu
menyebabkan orang miskin bertambah, karena kemampuan belinya
tambah rendah. Ketiga, permasalahan public service. Misalnya, listrik
yang tidak stabil,
sehingga pengusaha harus menggunakan genset, air macet dan harus beli. Harga meningkat, sedangkan
harga jual tidak membaik.
Lalu?
Jadi, ini
menyebabkan penambahan biaya, semua menambah biaya di sektor usaha dan membuat
orang semakin terpuruk. Ini yang belum
terpikirkan oleh pemerintah.
Bagaimana
solusinya persoalan tersebut?
Konsisten
melayani masyarakat dan menjaga harga. Karena dalam struktural pemerintah, ada dinas
yang bekerja untuk itu.
Jadi,
tidak sekompleks yang kita bayangkan. Cuma, mau
tidak? Kalau dari visi dan misi sudah bagus, aplikasinya masih tumpang tindih. Misalnya, dalam
pemberdayaan masyarakat masih atas dasar kepentingan sesaat.
Ini artinya
program Pemerintah Aceh selama ini tidak terprogram untuk jangka panjang?
Tidak, saya tak melihat
secara jangka panjang bagaimana membangun sektor industri yang produktif. Bagaimana
masyarakat memproduksi
sendiri, paling tidak kebutuhannya. Memang pemerintah sudah melakukan di sektor
padi dengan mendirikan pabrik besar, tetapi jadi besi tua karena
tidak ditangani serius. Saat masyarakat
panen, padinya dibeli oleh pengusaha dari Medan dan berasnya dijual kembali ke Aceh.
Kemudian
yang kaya tetap bukan orang Aceh?
Artinya, yang banyak
mendapatkan keuntungan pengusaha di Medan, capital
kita terus habis dan tidak mampu mendongkrak ekonomi. Itu baru
sektor kecil, misalnya di sektor pertanian, justru
orang yang diuntungkan daripada kita.
Apakah Pemerintah Aceh tidak
mampu atau tidak ada niat?
Pada
aplikasinya masih jauh, karena antara dinas-dinas belum ada sinkronisasi dalam
pengambilan kebijakan, sehingga tidak mampu mendongkrak ekonomi. Saya tidak
mengatakan mereka jelek, tetapi karena tidak bersama, masing-masing mengklaim
bahwa ini binaannya.
Walaupun ada tumpang tindih itu-itu saja. Jadi, tidak ada
pengembangan produktif.
Lantas, di mana
kelemahan Pemerintahan Aceh selama empat tahun?
Mungkin
yang paling fatal dari sisi koordinasi. Orang kuat
jalan sendiri-sendiri. Kalau koordinasinya tidak jelas, maka muncul Asal
Bapak Senang (ABS). Dari sisi dana, juga banyak, tetapi
karena tidak fokus jadi habis begitu saja dan tidak ada
efek. Kalau misalnya fokus tahun ini bidang X, hingga
mereka mampu bersaing kemudian baru cari yang lain.
Bappeda
mengaku Pemerintah Aceh sudah berbuat?
Yang
dilakukan memang ada.
Oke
buka jalan, tetapi hulu dan hilirnya apa? Justru jalan itu memudahkan orang
Medan beli padi. Makanya, kalau tidak sinergi untuk apa? Hanya sekedar jalan. Saya melihat
belum ada sinergi.
Ini
menunjukan Pemerintah Aceh belum optimal berbuat?
Saya
yakin keinginan mereka punya, cuma tidak cukup. Itu harus
dilandasi keinginan yang cukup kuat dengan koordinasi, harus mengajak semua
komponen masyarakat untuk membangun bersama, tidak bisa hanya pemerintah.
Membangun secara bersama, musyawarah dan mufakat.
Pemerintah juga harus menjamin listrik stabil. Selama ini, harus ada
rencana, harus ada plan A dan B.
Pemerintahan
Aceh selalu mengaku serius menurunkan angka kemiskinan?
Mungkin
tidak semua stake holder mendukung
kebijakan ini.
Masing-masing
punya ego sendiri. Maka, dalam pelaksanaannya jadi kacau balau.
Contohnya, PU (Dinas Pekerjaan
Umum) bangun jalan, Telkom menggali jalan, jadi
rusak lagi karena tidak ada koordinasi. Makanya, masing-masing dinas harus
duduk bersama, jangan jalan sendiri. Dinas-dinas
yang kecil senang-senang saja, untuk mendapatkan bu tamah (nasi tambah). Tetapi, tidak ada hasilnya.
Lalu?
Saya
pikir, Pemerintah
Aceh sudah
membuat satker pemberantasan kemiskinan, tetapi bukan hanya yang tertulis
tetapi pelaksanaannya. Hulu ke hilir
sudah ada support-nya. Misal, padi,
bagaimana meningkatkan jumlah satu hektarnya, kemudian bagaimana padi itu bisa
diolah di Aceh dan bisa dipasarkan sendiri.
Apakah
kemiskinan itu sengaja
dipelihara, sehingga menjadi bahan kampanye politik?
Susah
juga dibilang dipelihara karena ada payung. Misalnya, dituangkan
dalam visi-misi atau Rencana
Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Aceh.
Mungkin hanya payung saja. Contoh, ekonomi
sudah ada, payung Masyarakat
Ekonomi Asean (MEA) sudah ada,
tetapi belum semua dipakai. Saya melihat dari sisi positifnya.
Baik, apakah
bongkar pasang Kepala SKPA
(Satuan Kerja Perangkat Aceh)
juga mempengaruhi jumlah angka kemiskinan?
Bisa
jadi, selama
Pemerintah
ZIKIR
(Zaini Abdullah-Muzakir Manaf) sudah
berapa kali ganti SKPA. Tentu, program yang pernah dijabarkan kepala dinas
lama, sulit dilaksanakan kepala dinas baru. Ini soal ego
masing-masing pejabat
dan punya kepentingan sendiri, sehingga
ditemukanlah program tumpang tindih.***
No comments:
Post a Comment